.
Reaksi keras pun datang dari seluruh elemen umat Islam. MUI melalu Ketua Komisi Fatwa, KH Ma’ruf Amin, menolak usulan tersebut. Beliau menegaskan predikat ulama didapat dari pengakuan masyarakat, bukan pemerintah.
Sementara itu Ketua Forum Ulama Umat Indonesia (FUUI), KH Athian Ali M Da’I, menilai ide tersebut merupakan fitnah dari pemerintah melalui BNPT terhadap para ulama. Menurutnya usulan itu bisa semakin memperkeruh hubungan antara kelompok ulama dengan pemerintah (Republika.co.id, 10/9).
Ketua Umum PBNU, Said Aqil Sirodj, juga memprotes usulan itu. Menurut PBNU, gelar kiai atau ustadz bukan pemberian pemerintah, sehingga tidak dibutuhkan langkah sertifikasi untuk melihat nasionalisme penyandangnya (detiknews.com, 9/9). Sementara itu Wakil Ketua PCNU Kabupaten Malang, KH Abdul Mujib Syadzili, menyatakan 2.600 pondok pesantren di Kabupaten Malang, Jawa Timur, siap melawan BNPT jika usulan sertifikasi ulama direalisasikan (Kompas.com, 10/9).
Logika Tumpul
Pihak BNPT melalui Ketuanya Ansyad Mbai membantah adanya usulan tersebut. Bahkan Ansyad Mbai menyatakan ada kalangan radikal yang memutarbalikkan pemberitaan tersebut (bisnis.com, 10/9). Pemberitaan berbagai media massa menunjukkan dengan jelas bahwa wacana itu memang pernah dilontarkan. Banyaknya reaksi keras dari tokoh-tokoh dan elemen umat Islam tentu tidak muncul jika wacana itu tidak ada. Logikanya, tentu tidak ada asap kalau tidak ada api. Bisa jadi seandainya tidak segera mendapat reaksi keras dari tokoh-tokoh dan elemen-elemen umat, wacana itu mulus dilakukan.
Selama ini ada tuduhan ajaran Islam menjadi sumber terorisme. Ulama, ormas dan pesantren dituduh turut menyemai radikalisme yang berujung pada tindakan anarkis dan terorisme. Padahal radikalisme tidak saja dilakukan karena alasan agama Islam. Sosiolog Agama, Dadang Kahmad, menyatakan penyebab radikalisme itu bukan hanya karena agama. Menurutnya, ada banyak faktor dan sangat kompleks. Kondisi-kondisi sosial dapat membentuk radikalisme. Contohnya, pendidikan rendah, ekonomi dan lainnya.
(republika.co.id, 10/9).
Banyak bukti radikalisme bahkan teror juga dilakukan oleh pengikut agama lain. Contoh, kelompok IRA (Irish Republican Army), menggunakan aksi teror sebagai bentuk perlawanan terhadap ‘penjajahan’ Inggris atas tanah air mereka, Irlandia Utara. Selain atas motif nasionalisme, IRA juga mengatasnamakan agama Katolik Roma. Mereka pun juga menyerang kaum Protestan yang dianggap loyal pada Inggris.
Dalam Yahudi ada kelompok ekstrimis seperti yang membunuh mantan PM Israel, Yitzhak Rabin. Di India, Partai Hindu Bharatiya Janata (BJP), mensponsori aksi kekerasan dalam kasus perebutan Mesjid Babri. Ratusan warga muslim menjadi korban. Aksi terorisme yang mengatasnamakan agama terjadi hampir pada semua agama dan kepercayaan.
Di tanah air, RMS (Republik Maluku Selatan) yang terdoktrin ajaran Kristen juga kerap melakukan kekerasan, khususnya terhadap umat Islam di Maluku. Umat Islam mungkin masih ingat tragedi pembantaian atas ratusan muslim Maluku pada tanggal 25 April 2004 lalu.
Radikalisme sering diidentikan dengan tindakan anarkis. Faktanya, tindakan anarkis tidak jarang juga dipicu oleh sistem dan proses politik yang ada. Proses demokrasi khususnya pilkada selama ini sudah banyak memicu tindakan anarkis. Sekadar contoh, peristiwa tahun lalu berupa pembakaran kantor Dispenda, DPRD dan beberapa mobil dinas di daerah kota Arreke’ Buton Utara-Sultra. Ini terjadi karena sebab kekecewaan atas kekalahan salah satu calon Bupati (Sumarni, yang adalah istri dari Ansyad Mbai ketua BNPT) oleh pendukungnya.
Aksi anarkis dan teror juga bisa karena faktor dendam. Banyak kalangan menilai aksi terorisme yang kini terjadi di tanah air juga dilatarbelakangi unsur dendam. Terlihat dari sasaran pelaku adalah aparat keamanan, seperti penyerangan pos polisi dan penembakan seorang polisi di Solo.
Hal ini mungkin terjadi, mengingat seperti penilaian banyak kalangan, penanganan terorisme yang dilakukan oleh BNPT dan Densus 88 arogan dan bergaya bak cowboy. Komisioner Komnas HAM, Saharudin Daming, menyatakan bahwa Densus 88 sering overacting bahkan bertindak brutal terhadap tersangka teroris juga keluarganya.
Menurut pengamat kepolisian, Bambang Widodo Umar, langkah-langkah Densus 88 dari sejak dibentuk hingga sekarang cenderung melihat teroris itu harus dimatikan, patut dibunuh. Padahal, belum tentu orang yang ditembak itu terbukti terlibat terorisme. Bambang khawatir ini akan terjadi penyalahgunaan kekuasaan dan melanggar hak asasi manusia. Hal ini juga memicu dendam di kalangan sebagian orang.
Gaya penanganan terorisme yang arogan, overacting dan represif seperti itu, bukannya menghentikan radikalisme dan terorisme, malah melahirkan dendam terhadap aparat keamanan. Jika analisis ini benar, munculnya aksi teror justru dimunculkan atau dipicu oleh penanganan terorisme itu sendiri. Jika ini terjadi, aksi teror dan penanganan teror menjadi lingkaran setan seperti mitos ayam dengan telur, tidak pernah berakhir.
Membungkam Islam
Usulan sertifikasi dai dan ustadz yang diusulkan BNPT selain menganggap para ulama sebagai penyemai bibit terorisme, juga dikhawatirkan akan menjadi alat untuk membungkam para ulama yang ikhlas dan istiqomah dalam memperjuangkan Islam. Sehingga akan melanggengkan status quo.
Demikian pula para dai dan orang-orang yang menyuarakan kebenaran mengkritisi kepentingan penguasa atau kebijakan war on terror yang dilakukan BNPT, bisa dimasukkan sebagai pelaku kriminal bahkan teroris. Ansyad Mbai, misalnya, menuduh para pengamat yang mengkritik BNPT sama dengan teroris. “Saya tegaskan lagi, jadi pengacara teroris dengan jalan seperti itu sama saja dengan teroris,” ungkapnya (eramuslim.com, 11/9).
Ironis, ulama yang menjadi corong kebenaran dan pembawa amanah umat justru dianggap pelaku kriminal manakala menentang kezaliman penguasa dan kepentingan asing. Para dai yang berani menyampaikan halal dan haram, mengungkap kesalahan penguasa dan strategi para penjajah Barat, justru akan diberangus karena dianggap menyebarkan kebencian dan radikalisme.
Padahal melakukan amar maruf nahi mungkar, termasuk menyerukan kewajiban pelaksanaan syariat Islam dan penegakkan khilafah adalah kewajiban yang agung. Nabi saw. memuji para dai yang berani menyampaikan kalimatul haq di hadapan penguasa yang zalim. Sabdanya
:
أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ
Jihad yang paling utama adalah menyampaikan kalimat adil (kebenaran) di hadapan penguasa yang jahat (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah).Kebijakan sertifikasi ini juga sama saja mengganggap ada ajaran di dalam Islam yang mengandung muatan kriminal. Jihad sebagai kewajiban yang agung bisa dianggap sebagai ajaran kejahatan. Atau seruan untuk melawan kemaksiatan dan kemungkaran bisa juga dikategorikan sebagai ajaran radikal dan mempromosikan anarkisme.
Menuduh ajaran Islam – sebagian atau seluruhnya – sebagai ajaran kriminal dan kejahatan merupakan bentuk kesombongan yang pelakunya diharamkan masuk ke dalam jannah. Firman Allah:
] إِنَّ
الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا وَاسْتَكْبَرُوا عَنْهَا لَا تُفَتَّحُ
لَهُمْ أَبْوَابُ السَّمَاءِ وَلَا يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى يَلِجَ
الْجَمَلُ فِي سَمِّ الْخِيَاطِ وَكَذَلِكَ نَجْزِي الْمُجْرِمِينَ [
Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan
menyombongkan diri terhadapnya, sekali-kali tidak akan dibukakan bagi
mereka pintu-pintu langit dan tidak (pula) mereka masuk surga, hingga
unta masuk ke lubang jarum. Demikianlah Kami memberi pembalasan kepada orang-orang yang berbuat kejahatan. (TQS. al-A’raf [7]: 40).Wacana sertifikasi ulama itu juga berpotensi memecah belah dan mengadu domba umat dan ulamanya. Sebagian dilabeli radikal, ekstrem, fundamentalis dan menyemai kekerasan. Sebagian lain disebut moderat, mainstream, sembari diarahkan menghadang mereka yang dicap radikal. Cara itu sesungguhnya adalah bagian dari strategi war on terror yang dicanangkan oleh Barat yang memang diarahkan memusuhi Islam dan para pengemban dan pejuangnya. Sayangnya cara itu agaknya diikuti oleh pemerintah melalui BNPT-nya.
Wacana itu hanyalah cara agar di masyarakat yang berkembang hanya pemahaman keislaman sesuai pemahaman pemerintah (BNPT) yang selama ini terlihat hanya mengikuti model pemahaman Islam yang dikembangkan oleh barat yang anti Islam. Cara itu hanyalah bagian dari cara untuk membungkam para ulama yang mukhlis agar tidak menyerukan ajaran Islam yang bertentangan dengan kepentingan Barat dan sekutunya. Juga cara untuk menghalangi pengajaran dinul Islam yang sempurna.
Wahai kaum muslimin!
Munculnya wacana itu hanya menunjukkan bahwa sikap phobi terhadap Islam masih ada. Sayangnya sikap itu ada di aparat pemerintah negeri ini yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Juga menunjukkan bahwa proses deislamisasi terus berjalan. Kaum muslimin harus makin sadar dan waspada akan semua itu. Sekarang saatnya menunjukkan keberpihakan dan pembelaan kepada agama Allah. Saatnya melipatgandakan perjuangan penerapan syariah secara total dalam bingkai sistem Khilafah Rasyidah ‘ala minhaj an-nubuwwah. Wallâh a’lam bi ash-shawâb. []
Komentar
“Masih banyak anggaran kementerian beberapa puluh miliar untuk perjalanan luar negeri. DPR hanya sekian miliar kok direpotin, kan ini untuk rakyat,” kata Marzuki saat ditemui di Kompleks DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (11/9). (Mediaindonesia.com, 11/9)
- Kunjungan kerja selama ini banyak tidak efektif termasuk yang dilakukan di eksekutif dan lebih terkesan pelesiran, terutama yang dilakukan oleh anggota DPR.
- Komentar itu menunjukkan DPR dan pemerintah masih belum peka dan masih banyak terjadi pemborosan, tapi tidak tampak niat untuk mengakhirinya. Sebaliknya yang berbau subsidi kepada rakyat justru mereka semangat untuk menghilangkannya seperti tampak dalam kasus kenaikan TDL dan pembatasan BBM bersubsidi dan usulan kenaikan harga BBM
- Itulah hasil dari penerapan ideologi kapitalisme dengan sistem politik demokrasinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar