sendiri hingga akhirnya tewas.
Juni lalu seorang tukang ojek gantung diri di rumahnya di Cengkareng, Jakarta Barat. Lalu di awal Juli, seorang tukang bakso juga gantung diri di kawasan Ciracas, Jakarta Timur. Kedua pria itu sama-sama bunuh diri diduga karena tidak tahan menghadapi himpitan ekonomi.
Bahaya Kemiskinan
Kemiskinan tidak jarang juga menyebabkan pelaku selain bunuh diri juga membunuh anak atau anggota keluarga yang menjadi tanggungannya. Pelaku khawatir akan masa depan anaknya itu.
Pada pertengahan April lalu, di Bekasi seorang ayah membunuh anaknya setelah ditinggal kabur istri karena tak tahan himpitan ekonomi. Sang ayah yang depresi karena tidak punya pekerjaan tetap dan harus mengasuh anak akhirnya gelap mata dan menghabisi nyawa anaknya sendiri.
Kemiskinan tak jarang juga menjadi biang ketakharmonisan keluarga. Himpitan ekonomi banyak menjadi pangkal percekcokan hingga perceraian. Badan Urusan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung (MA) mencatat selama periode 2005 hingga 2010 terjadi peningkatan perceraian hingga 70 persen (republika.co.id, 24/1). Cerai karena persoalan ekonomi mencapai 67.891 perkara. Yang banyak terjadi kini para istri menuntut cerai dengan alasan kurang nafkah.
Kemiskinan juga bisa memicu kriminalitas. Di Bulukumba, Sulsel, seorang remaja (14 th) di tahan polisi setelah ketahuan mencuri uang Rp 20 ribu untuk membeli makanan guna menyambung hidup. Sementara di Bojonegoro kakak beradik Gita siswa SMP dan Mamat kelas 6 SD bernasib tragis digebuki warga setelah ketahuan mencuri. Keduanya hidup miskin setelah ditinggal kedua orang tuanya mencari pekerjaan di Kalimantan (rri.co.id, 5/5/2012).
Kemiskinan pun tak jarang menjadi alasan terjadinya berbagai masalah sosial lain seperti pelacuran, pencopetan, perampasan dan sebagainya. Juga tak jarang pertengkaran bahkan perkelahian ternyata dilatarbelakangi masalah kemiskinan.
Negara Gagal!
Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan jumlah orang miskin di Indonesia turun 0,89 juta orang dari 30,02 juta orang pada Maret tahun lalu menjadi 29,13 juta orang pada Maret 2012 (http://www.bps.go.id/brs_file/kemiskinan_02jul12.pdf). Angka pengangguran tinggal 6,3 %, dan jumlah pengangguran usia muda mencapai 4,2 juta jiwa.
Data itu harus dipertanyakan sebab komponen surveinya tidak realistis. Menurut BPS angka itu adalah perhitungan makro dengan sampel hanya sekitar 68.000 rumah tangga dari sekitar 61 juta rumah tangga di Indonesia (http://bimakab.bps.go.id/files/miskin.pdf). Artinya, hanya menggunakan sampel sekitar 0,1115 % yang tentunya belum dapat mewakili sampel data secara makro di Indonesia. Disamping itu, garis kemiskinan yang digunakan Rp 267.408 untuk perkotaan dan Rp 229.226 untuk pedesaan tidak logis dan tidak sesuai dengan biaya hidup sehari-hari. Angka itu di kota hanya cukup untuk makan sekali secara layak. Lalu bagaimana dengan kebutuhan papan, sandang, pendidikan, kesehatan dan lainnya? Apakah angka dan batas kemiskinan itu logis dan manusiawi?.
Ekonom Indef Enny Sri Hartati menilai program pengentasan kemiskinan yang dibuat pemerintah selama ini telah salah sasaran. Penurunan persentase penduduk miskin sebesar 0,53%, sangat kecil dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mencapai 6,5%. Dengan anggaran kemiskinan yang selalu naik, harusnya pemerintah bisa menurunkan angka kemiskinan hingga 5,2 %.
Sosiolog UIN Syarif Hidayatullah, Musni Umar, menilai berbagai klaim keberhasilan pemerintah soal pertumbuhan ekonomi hanya menyentuh masyarakat menengah dan atas. Musni menilai negara yang tidak bisa mengurus orang miskin sebagai negara yang gagal.
Akibat Kapitalisme-Liberalisme
Kemiskinan yang mendera sebagian rakyat negeri ini bukan karena negeri ini miskin. Sebaliknya negeri ini kaya raya. Sebab kemiskinan di negeri ini adalah kekayaan itu tidak terdistribusi secara merata dan adil pada seluruh rakyat. Itu terjadi karena sistem ekonomi kapitalisme yang diadopsi dan diterapkan di negeri ini tidak bisa mendistribusikan kekayaan secara merata dan adil.
Karena itu pangkal penyebab kemiskinan tidak lain adalah sistem ekonomi kapitalisme-liberal yang diterapkan di negeri ini. Dalam sistem ekonomi ini berlaku prinsip ‘survival of the fittest’, siapa yang kuat dialah yang menang. Akibat dari sistem kapitalisme itu, kekayaan terkonsentrasi pada sebagian kecil orang. Menurut ekonom Indef, Enny Sri Hartati, 20 % dari penduduk Indonesia menguasai 48 % PDB, sedangkan mayoritas yaitu 80 % dari penduduk Indonesia hanya menguasai 52 % PDB.
Data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) tentang distribusi simpanan bank umum April 2012 justru menunjukkan data yang lebih ironis. Menurut data LPS itu, dari total nilai simpanan di bank umum nasional sebesar Rp 2.894,01 triliun, ternyata Rp 1.508,71 triliun-nya (52,13%) dikuasai oleh hanya 0,14% dari total pemilik rekening. Data itu juga menunjukkan, 97,38 % dari total pemilik rekening hanya menguasai Rp 466,49 triliun atau 16,12 % dari total nilai simpanan, sementara itu 2,62 % dari total pemilik rekening menguasai Rp 2.427,52 triliun atau 83,88 % dari total nilai simpanan. Padahal total jumlah rekening hanya 101,532 juta atau kurang dari 50% jumlah penduduk Indonesia.
Keadaan ini diperparah diantaranya oleh maraknya korupsi dari hulu hingga ke hilir. Juga diperparah oleh alokasi anggaran yang tidak berpihak pada rakyat dan pengentasan kemiskinan.
Syariat Islam: Solusi Total
Kemiskinan yang terjadi di negeri ini adalah kemiskinan struktural, diakibatkan oleh sistem dan bersifat sistemik. Masalah kemiskinan tidak mungkin diatasi selama sistem yang menjadi penyebab utamanya yaitu sistem kapitalisme berikut sistem politik demokrasinya terus eksis.
Solusi problem kemiskinan haruslah solusi sistemik dan ideologis, yaitu dengan jalan mencampakkan sistem ekonomi kapitalisme liberal. Hal itu tidak bisa dilakukan kecuali dengan juga merubah sistem kapitalisme yang eksis. Solusi sistemik dan ideologis itu adalah dengan jalan menerapkan syariah Islam secara utuh termasuk sistem ekonomi Islam dalam bingkai sistem Khilafah Rasyidah.
Hanya sistem Islam lah yang bisa mendistribusikan kekayaan secara merata dan adil. Yaitu melalui penerapan hukum-hukum Sistem Ekonomi Islam termasuk tentang kepemilikan, tasharruf kepemilikan dan pendistribusian harta diantara masyarakat.
Secara lebih khusus, untuk menyelesaikan masalah kemiskinan, Sistem Islam menempuh dua strategi: ekonomi dan non ekonomi. Strategi non ekonomi adalah dengan strategi zakat, infak dan shadaqah. Meski potensi ziswak di negeri ini sangat besar, akan tetapi belum cukup untuk mengatasi kemiskinan, karenanya harus diiringi oleh strategi ekonomis yaitu melalui pemberian jaminan pemenuhan kebutuhan pokok dan asasi masyarakat.
Pemenuhan kebutuhan pokok ditempuh dengan strategi. Pertama, Islam memerintahkan setiap laki-laki agar bekerja untuk memenuhi kebutuhannya dan keluarganya. Dalam hal ini negara wajib menyediakan lapangan kerja untuk rakyat, baik dengan pendekatan langsung maupun tidak langsung. Secara langsung negara bisa membuka lapangan kerja melalui proyek-proyek pembangunan. Sedangkan secara tak langsung, negara harus menciptakan iklim usaha yang sehat dan kondusif. Diantaranya dengan sistem administrasi dan birokrasi yang mudah, sederhana, cepat, dan tanpa pungutan. Negara juga akan menghilangkan dan memberantas berbagai distorsi yang menghambat, seperti penimbunan, kanzul mal (QS at-Tawbah [9]: 34), riba, dsb. Negara pun bisa memberikan bantuan teknis, informasi, dan modal kepada rakyat yang mampu berusaha/bekerja. Negara menghilangkan sektor non riil, sehingga harta berputar di sektor riil sehingga berefek langsung pada perekonomian riil.
Kedua, jika individu itu tetap tidak mampu, maka beban tersebut dialihkan kepada ahli warisnya. Ketiga, jika kerabat tidak ada atau tidak mampu, maka beban itu beralih ke baitul mal yakni kepada negara. Nabi saw. bersabda:
« اَنَا أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ
أَنْفُسِهِمْ، مَنْ تَرَكَ مَالًا فَلِأَهْلِهِ، وَمَنْ تَرَكَ دَيْنًا
أَوْ ضِيَاعًا، فَإِلَيَّ، وَعَلَيَّ »
“Aku lebih utama dibandingkan orang-orang beriman daripada diri mereka, siapa yang meninggalkan harta maka bagi keluarganya, dan siapa yang meninggalkan hutang atau tanggungan keluarga, maka datanglah kepadaku, dan menjadi kewajibanku.” (HR. Ibnu Hibban)
Sedangkan pemenuhan kebutuhan asasi masyarakat yaitu pendidikan, kesehatan dan keamanan, maka negara memenuhinya secara langsung dengan menyediakannya kepada rakyat secara gratis atau minim biaya. Untuk membiayai semua itu, selain berasal dari harta milik negara juga dari hasil pengelolaan harta milik umum seperti migas, tambang, laut, danau, sungai, hutan dan sebagainya.
Wahai Kaum Muslimin
Kemakmuran negeri ini akan bisa riil dirasakan seluruh rakyat per individu hanya jika kekayaan negeri ini diatur dan diurusi menggunakan syariah Islam yang dterapkan secara utuh dalam bingkai Khilafah Rasyidah ‘ala minhaj na-nubuwwah. Sekaranglah saatnya kita memperjuangkan dengan penuh kesungguhan. Allah SWT berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan
Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan
kepada kamu (QS al-Anfal [8]: 24)Komentar Al Islam:
Marzuki Alie, Ketua DPR RI: “Orang miskin itu karena salahnya sendiri dia malas bekerja. Jadi bukan salah siapapun kalau ada orang miskin.”(waspada.co.id, 9/7)1. Kasihan warga miskin, sudah dibuat menderita oleh penguasanya masih juga disalahkan dan dianggap sebagai pemalas. Tuduhan itu hanyalah untuk berlepas tanggungjawab.
2. Kemiskinan sudah menjadi kemiskinan struktural akibat penerapan sistem ekonomi kapitalisme dan para penguasa, pejabat dan pegawai korup
3. Kemakmuran hanya bisa dirasakan setiap individu rakyat jika diterapkan Sistem EKonomi Islam dalam bingai Khilafah Radyidah, saatnya kita perjuangkan dan wujudkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar