"

Jumat, 19 Oktober 2012

Vonis Mati Bandar Narkoba Dibatalkan Peredaran Narkoba Kencang

[Al Islam 627] Juru Bicara MA Djoko Sarwoko dalam jumpa pers, Jumat (12/10/2012), menuturkan bahwa presiden Yudhoyono mengabulkan permohonan grasi terpidana mati kasus narkoba Deni Setia Maharwan alias Rafi dan Merika Pranola alias Ola alias Tania dan mengubah hukuman keduanya menjadi penjara seumur hidup. Grasi kepada Deni diberikan melalui Keppres Nomor 7/G/2012 tanggal 25 Januari 2012. Sedangkan grasi untuk Ola yang satu kelompok dengan Deni diberikan pada 26 September 2011 dengan Keppres Nomor 35/G/2011. Presiden SBY melalui Keppres Nomor 22/G/2012 tanggal 15 Mei 2012 juga memberikan grasi kepada Schapelle Leigh Corby (34 th) warga Australia narapidana narkoba di LP Kerobokan Bali dan mengurangi hukumannya dari 20 tahun menjadi 15 tahun.

Seolah tak mau kalah, MA juga membatalkan vonis mati terpidana narkoba. Majelis hakim yang terdiri dari hakim agung Imron Anwari, Achmad Yamamie, dan Hakim Nyak Pha, membatalkan vonis mati atas Hillary K Chimezie terpidana pemilik 5,8 kilogram heroin, dan mengubahnya menjadi hukuman penjara 12 tahun. Sebelumnya MA pada 16 Agustus 2011 juga membebaskan pemilik pabrik ekstasi di Surabaya Hengky Gunawan dari hukuman mati dan diubah menjadi hukuman 15 tahun penjara.

Menyakiti Rasa Keadilan
Pembatalan vonis mati terpidana kasus narkoba oleh MA dan oleh presiden melalui grasi itu menyakiti hati dan meredupkan harapan masyarakat. Hal itu juga bertolak belakang dengan semangat pemberantasan narkoba. Padahal masalah narkoba di negeri ini sudah sangat serius dan mengancam generasi. Asrorun Ni’am dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) seperti dikutip Mediaindonesia.com (11/10) mengatakan: “Kejahatan narkoba membunuh satu generasi, bukan hanya individu-individu.” Di negeri ini ada sekitar 4,2 juta orang yang terjerat narkoba. Setiap hari diperkirakan 50 orang tewas akibat overdosis.

Peredaran narkoba juga memicu tindak kejahatan, kehancuran rumah tangga dan kecelakaan lalu lintas. Kecelakaan Tugu Tani Jakarta yang menewaskan sembilan orang, dan yang terbaru sebuah mobil yang menabrak tujuh orang termasuk dua orang polisi adalah contoh. Pengemudi dalam dua kejadian itu, berada dalam pengaruh narkoba. Belum lagi dampak penyebaran penyakit menular berbahaya seperti HIV/AIDS sebagai akibat penggunaan jarum suntik bergantian di antara para pemakai narkoba.

Sistem Bobrok
Penyebab utama maraknya narkoba adalah akidah sekulerisme yang menjadi landasan kehidupan masyarakat saat ini. Falsafah pemisahan agama dari kehidupan itu menyuburkan gaya hidup hedonis dan permisif atau serba-boleh. Masyarakat diubah menjadi pemburu kesenangan dan kepuasan. Prinsipnya bukan halal-haram atau pahala-dosa, tetapi my body my right, “uang saya sendiri dan badan saya sendiri, terserah saya.” Akhirnya, miras, narkoba, perzinaan, seks bebas, pelacuran, dsb, menjadi bagian dari kehidupan sebagian masyarakat.

Sistem hukum yang diharapkan memberantas nyatanya tumpul. Menurut UU saat ini, pecandu narkoba tidak lagi dipandang sebagai pelaku tindak kriminal, tetapi hanya korban atau seperti orang sakit. Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Gories Mere mengatakan (Kompas.com, 4/10): “Pencandu narkoba seperti orang yang terkena penyakit lainnya. Mereka harus diobati, tetapi menggunakan cara yang khusus.” Seolah itu memberi pesan bahwa mengkonsumsi narkoba itu tidak melanggar hukum. Pantas saja orang tidak takut lagi mengkonsumsi narkoba, sebab merasa tidak akan terkena sanksi hukum.

Disisi lain, sanksi hukum yang dijatuhkan terlalu lunak. Vonis mati yang diharapkan bisa menimbulkan efek jera pun justru dibatalkan oleh MA dan grasi presiden. Bandar dan pengedar narkoba yang sudah dihukum juga berpeluang mendapatkan pengurangan masa tahanan. Parahnya lagi, mereka tetap bisa mengontrol penyebaran narkoba dari dalam penjara.
Masalahnya makin gawat, ketika aparat penegak hukum yang sudah buruk itu, tak sedikit justru terjerat narkoba. Menurut data di Mabes Polri, dari Januari hingga 14 Maret 2012 (tiga bulan) saja sebanyak 45 anggota polisi di Indonesia terlibat kasus narkoba. Jumlah sebenarnya bisa jadi jauh lebih banyak.

Inikah Keadilan?
Peringanan hukuman bagi pecandu, pengedar bahkan bandar narkoba sering menggunakan dalih kemanusiaan. Hakim MA dalam membatalkan vonis mati dua gembong narkoba beralasan bahwa hukuman mati bertentangan hak hidup yang dijamin oleh UUD 1945 Pasal 28 dan melanggar HAM. Sementara itu sejumlah LSM yang menolak vonis hukuman mati beralasan bahwa vonis hukuman mati terbukti tidak menyurutkan angka kejahatan narkoba.

Semua itu bertentangan dengan prinsip keadilan. Seorang pecandu narkoba jelas berbuat kriminal. Sebab dengan sadar ia membeli, memiliki dan menggunakan narkoba, bukan karena dipaksa. Jika ia mengkonsumi narkoba karena diancam akan dibunuh atau dianiaya pantas bila dikatakan sebagai korban. Selain itu pecandu atau pengkonsumsi narkoba tak jarang juga mengajak atau mempengaruhi orang lain untuk juga mengkonsumsinya, jelas berbahaya.

Alasan karena hak hidup juga dipaksakan. Bila pengedar dan bandar narkoba dilindungi hak hidupnya lalu bagaimana dengan hak hidup para korban yang tewas atau terkapar akibat narkoba yang mereka jajakan? Bagaimana pula dengan hak hidup masyarakat banyak yang setiap saat terancam oleh peredaran narkoba? Aneh hak hidup bandar narkoba yang telah turut berperan merampas hak hidup para korban narkoba dan mengancam hak hidup masyarakat banyak justru lebih diutamakan.

Anggapan bahwa vonis mati tidak memberikan efek jera tidak didukung bukti. Justru fakta yang ada, hukuman  sekadar penjara beberapa tahun jelas tidak ampuh sama sekali. Malah, di penjara pun mereka bisa mengendalikan peredaran narkoba. Terlebih lagi vonis mati yang sudah dijatuhkan ternyata hampir belum ada yang dieksekusi. Saat ini masih ada 50 terpidana mati kasus narkoba yang belum dilaksanakan. Disamping, kalaupun dilaksanakan, masyarakat tidak pernah mengetahuinya. Wajar saja efek jeranya belum terasa, sebab memang belum dilakukan.

Enyahkan Narkoba Dengan Sistem Islam!
Ketika syariat Islam diterapkan, maka peluang penyalahgunaan akan tertutup. Landasan akidah Islam mewajibkan negara membina ketakwaan warganya. Ketakwaan yang terwujud itu akan mencegah seseorang terjerumus dalam kejahatan narkoba. Disamping itu, alasan ekonomi untuk terlibat kejahatan narkoba juga tidak akan muncul. Sebab pemenuhan kebutuhan pokok setiap individu rakyat (papan, pangan dan sandang) dan kebutuhan dasar masyarakat (pendidikan, layanan kesehatan dan keamanan) akan dijamin oleh negara. Setiap orang juga memiliki kemungkinan untuk memenuhi kebutuhan sekundernya sesuai kemampuan masing-masing.
Secara hukum, dalam syariah Islam narkoba adalah haram. Ummu Salamah ra menuturkan:

« نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ كُلِّ مُسْكِرٍ وَمُفَتِّرٍ»
Rasulullah saw melarang setiap zat yang memabukkan dan menenangkan (HR Abu Dawud dan Ahmad)

Mufattir adalah setiap zat relaksan atau zat penenang, yaitu yang kita kenal sebagai obat psikotropika dan narkoba. Al-‘Iraqi dan Ibn Taymiyah menukilkan adanya kesepakatan (ijmak) akan keharaman candu/ganja (lihat, Subulus Salam, iv/39, Dar Ihya’ Turats al-‘Arabi. 1379).

Sebagai zat haram, siapa saja yang mengkonsumsi, mengedarkan dan memproduksinya berarti telah melakukan jarîmah (tindakan kriminal) yang termasuk sanksi ta’zir. Pelakunya layak dijatuhi sanksi dimana bentuk, jenis dan kadar sanksi itu diserahkan kepada ijtihad Khalifah atau Qadhi, bisa sanksi diekspos, penjara, denda, jilid bahkan sampai hukuman mati dengan melihat tingkat kejahatan dan bahayanya bagi masyarakat.

Terhadap pengguna narkoba yang baru sekali, selain harus diobati/direhabilitasi oleh negara secara gratis, mungkin cukup dijatuhi sanksi ringan. Jika berulang-ulang (pecandu) sanksinya bisa lebih berat. Terhadap pengedar tentu tak layak dijatuhi sanksi hukum yang ringan atau diberi keringanan. Sebab selain melakukan kejahatan narkoba mereka juga membahayakan masyarakat. Gembong narkoba (produsen atau pengedar besar) sangat membahayakan masyarakat sehingga layak dijatuhi hukuman berat bahkan sampai hukuman mati.

Jika vonis telah dijatuhkan, maka harus segera dilaksanakan dan tidak boleh dikurangi atau bahkan dibatalkan. Syaikh Abdurrahman al-Maliki di dalam Nizhâm al-‘Uqûbât (hal. 110, Darul Ummah, cet. Ii. 1990) “adapun untuk ta’zir dan mukhalafat, vonis Qadhi itu jika telah ditetapkan, maka telah mengikat seluruh kaum muslim, karena itu tidak boleh dibatalkan, dihapus, dirubah, diringankan atau yang lain, selama vonis itu masih berada dalam koridor syariah. Sebab hukum itu ketika sudah ditetakan oleh Qadhi, maka tidak bisa dibatalkan sama sekali. Pemaafan itu adalah pembatalan vonis (sebagian atau total) karena itu tidak boleh”.

Pelaksanaan hukuman yang dijatuhkan itu harus dilakukan secepatnya, tanpa jeda waktu lama setelah dijatuhkan vonis. Pelaksanaannya hendaknya diketahui atau bahkan disaksikan oleh masyarakat seperti dalam had zina (lihat QS an-Nur [24]: 2). Sehingga masyarakat paham bahwa itu adalah sanksi atas kejatahan tersebut dan merasa ngeri. Dengan begitu setiap orang akan berpikir ribuan kali untuk melakukan kejahatan serupa. Maka dengan itu kejahatan penyalahgunaan narkoba akan bisa diselesaikan tuntas melalui penerapan syariah Islam.

Wahai Kaum Muslim
Mustahil mewujudkan masyarakat bersih dari narkoba dengan hukum buatan manusia dan sistem demokrasi sekarang ini. Hal itu hanya bisa diwujudkan melalui penerapan syariat Islam secara total dalam bingkai khilafah Islamiyyah. Kita wajib segera berjuang penuh kesungguhan untuk mewujudkannya di tengah kita. Wallâh a’lam bi ash-shawâb. []

Komentar:
Publik mendambakan partai politik yang “bersih” yang dapat menjadi lokomotif agenda pemberantasan korupsi. Masyarakat sudah tidak lagi percaya pada partai yang bergelimang kasus korupsi (Kompas, 16/10)
  1. Selama sistem politik demokrasi yang mahal masih dipakai, sangat sulit parpol dan politisi bisa benar-benar “bersih”.
  2. Lebih sulit lagi menjadi parpol dan politisi yang benar-benar memperjuangkan kepentingan rakyat. Sebab selain harus mengembalikan modal, juga didoktrin untuk fokus pada kekuasaan.
  3. Parpol yang benar-benar bersih dan peduli rakyat akan terwujud dengan sistem Islam. Sebab sistem politik Islam itu tidak mahal dan politik Islam itu fokus pada ri’ayah (pemeliharaan) berbagai urusan rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini