"

Jumat, 19 Oktober 2012

Mimpi Pemberantasan Korupsi

[Al Islam 626] Setelah ditunggu-tunggu, Presiden Susilo bambang Yudhoyono akhirnya tegas memerintahkan Polri untuk menyerahkan sepenuhnya penanganan kasus hukum dugaan korupsi simulator mengemudi di Korps Lalu Lintas Polri kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (Kompas, 9/10). Itu adalah salah satu kesimpulan dari pidato Presiden SBY pada senin malam (8/10).

Dengan itu, diharapkan kasus-kasus kelas kakap seperti kasus Hambalang, wisma Atlet, Century dan lainnya, segera tuntas dan negeri ini bisa bebas dari korupsi.

Mimpi !
Masyarakat harus bersiap, harapan itu sulit terwujud (jika tidak boleh dikatakan mustahil), setidaknya dalam waktu dekat ini. Hal itu karena beberapa faktor, diantaranya:

Pertama, sistem sekulerisme dengan akidah pemisahan agama dari negara dan kehidupan, menyebabkan nilai-nilai ketakwaan hilang dari politik dan pemerintahan. Akibatnya, tidak ada kontrol internal yang built in menyatu dalam diri politisi, pejabat, aparatur dan pegawai. Akhirnya, semuanya hanya bersandar pada kontrol eksternal, dan pengawasan dari atasan, inspektorat dan aparat hukum. Masalahnya, mereka semuanya tidak jauh beda bahkan sama saja. Di sisi lain, hukum juga tumpul, aturan hukum yang ada mudah direkayasa, dicari celahnya dan sanksi bagi yang terbukti bersalah pun sangat ringan.

Kedua, sistem politik demokrasi yang mahal menjadi salah satu sumber masalah korupsi. Butuh biaya besar untuk menjadi politisi, kepala daerah apalagi presiden. Untuk menjadi kepala daerah saja butuh puluhan bahkan ratusan miliar, tidak akan tertutupi dari gaji dan tunjangan selama menjabat. Untuk balik modal, terjadilah, cara-cara “legal tapi curang” atau “curang tapi legal”, seperti proses tender yang sudah diatur, dsb, yang sudah menjadi rahasia umum. Cara tersingkat adalah korupsi. Maka wajar saja sangat jarang ada politisi dan pejabat, khususnya kepala daerah, yang benar-benar bersih. Juga tidak aneh ICW mencatat (Republika.co.id, 4/10) ada 44 kader parpol terjerat kasus korupsi dari Januari – Juni 2012. Sebanyak 21 orang berasal dari kalangan atau mantan anggota dewan di pusat maupun di daerah, 21 orang dari kepala daerah atau mantan dan dua orang pengurus partai.

Ketiga, korupsi telah begitu berurat berakar, sementara sistem pengendalian begitu lemah. Laporan BPK membuktikan. BPK menyatakan (mediaindonesia.com, 2/10) telah terjadi penyimpangan pada instansi pemerintah pusat dan daerah di semester I tahun 2012, sebanyak 13.105 kasus. Potensi kerugian negara mencapai Rp12,48 triliun. Dari jumlah itu, sebanyak 3.976 kasus senilai Rp8,92 triliun merupakan temuan ketidakpatuhan yang mengakibatkan kerugian, potensi kerugian, dan kekurangan penerimaan negara. Sisanya sebanyak 9.129 kasus senilai Rp3,55 triliun merupakan kasus penyimpangan administrasi, ketidakhematan, ketidakefisienan, dan ketidakefektifan, serta sistem pengendali intern (SPI).

Keempat, dalam sistem politik yang ada, agenda pemberantasan korupsi tersandera oleh berbagai kepentingan kelompok, partai, politisi, cukong, bahkan kepentingan koruptor. Hal mendasar adalah sistem hukum. Sayangnya dalam sistem demokrasi, hukum dibuat oleh wakil rakyat bersama pemerintah. Disitulah kendali partai, kepentingan kelompok, pribadi dan cukong pemberi modal politik amat berpengaruh. Dalam sistem politik demokrasi yang mahal, kecil kemungkinan ada politisi, pejabat, dan aparat yang benar-benar bersih. Bagaimana mungkin pembuatan sistem hukum pemberantasan korupsi digantungkan kepada mereka yang seperti itu?

Kelima, sering terjadi ketidakpaduan antar lembaga dan aparat. Ketegangan KPK Vs Polri jilid II adalah bukti paling akhir. Hal itu dipengaruhi dua faktor: pertama, antar lembaga tinggi posisinya sejajar dan tidak di bawah satu kepemimpinan. KPK adalah lembaga independen. Jikalau KPK lemot, tidak bisa serta merta diakselerasi oleh presiden ataupun DPR. Sebaliknya, jika KPK dapat “hambatan” dari instansi atau aparat lain, KPK tidak mudah meminggirkan halangan itu sebab berbeda jalur. Faktor kedua, absennya peran kepemimpinan. Ketakpaduan polri dengan KPK mestinya tak terjadi, andai sejak awal presiden memerintahkan Polri harus berjalan padu dengan KPK, atau ketika Polri tidak patuh segera ditegur dan diluruskan. Ini yang tidak terjadi atau terlambat. Peran pemimpin mestinya tidak seperti wasit tinju, setelah baku pukul dan berdarah-darah baru menghentikan dan memutuskan. Peran pemimpin seharusnya memimpin, mengarahkan dan memadukan gerak sehingga semua berjalan secara harmonis.

Keenam, sistem hukum berbelit untuk membuktikan kasus korupsi dan banyak celah bagi koruptor untuk lolos. Sanksi bagi koruptor juga sangat ringan. Jangankan mencegah orang melakukan korupsi, koruptor pun tidak jera.

Karena semua itu, wajar harapan bebas dari korupsi dengan sistem sekarang ini akan terus menjadi mimpi. Aksi pemberantasan korupsi yang sedang berjalan hanya akan menjadi pelipur lara, dari pada sama sekali tidak ada.

Bebas dari Korupsi dengan Syariah Islam
Harapan bebas dari korupsi hanya bisa jika pemberantasan korupsi dilakukan menggunakan sistem lain, sebab sistem yang ada justru menjadi faktor muncul dan langgengnya korupsi. Sistem yang bisa diharapkan itu tidak lain adalah syariah Islam. Hal itu mengingat: pertama, dasar akidah Islam melahirkan kesadaran senantiasa diawasi oleh Allah dan melahirkan ketakwaan pada diri politisi, pejabat, aparat, pegawai dan masyarakat. Negara diwajibkan terus membina ketakwaan itu. Lahirlah kontrol dan pengawasan internal yang bulit-in menyatu dalam diri pemimpin, politisi, pejabat, aparat dan pegawai, yang bisa mencegah mereka untuk korupsi.

Kedua, sistem politik Islam termasuk dalam hal pemilihan pejabat dan kepala daerah, tidak mahal. Tidak akan muncul persekongkolan mengembalikan modal dan keuntungan kepada cukong politik. Juga tidak muncul ketamakan melakukan korupsi untuk balik modal.

Ketiga, politisi dan proses politik, kekuasaan dan pemerintahan tidak bergantung dan tak tersandera oleh parpol. Peran parpol dalam Islam adalah fokus dalam mendakwahkan Islam, amar makruf dan nahi mungkar atau mengoreksi dan mengontrol penguasa. Anggota Majelis umat tidak memiliki kekuasaan politik dan anggaran sehingga mafia anggaran tidak akan terjadi. Hukum dalam syariah Islam bersumber dari wahyu dan tidak dibuat oleh wakil rakyat dan penguasa. Sehingga hukum tidak akan tersandera oleh kepentingan seperti dalam sistem demokrasi.

Keempat, struktur dalam sistem Islam semuanya berada dalam satu kepemimpinan khalifah, sehingga ketakpaduan antar instansi dan lembaga bisa diminimalisir bahkan tidak terjadi. Faktor absennya peran kepemimpinan bisa dihindari, berbeda dengan fakta yang ada sekarang.

Kelima, praktek korupsi andai terjadi bisa diberantas degan sistem hukum syariah, bahkan dicegah agar tak terjadi. Dalam syariah, kriteria harta ghulul itu jelas. Harta yang diambil/ditilap di luar imbalan legal; harta yang diperoleh karena faktor jabatan, tugas, posisi, kekuasaan dan sebagainya sekalipun disebut hadiah; harta pejabat, aparat, dsb, yang melebihi kewajaran yang tidak bisa dibuktikan diperoleh secara legal; semua itu termasuk harta ghulul. Di akhirat akan mendatangkan azab. Allah berfirman (yang artinya): Barangsiapa yang berbuat curang, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa hasil kecurangannya (TQS. Ali Imran [3]: 161).
Nabi saw bersabda:

«مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ مِنْكُمْ عَلَى عَمَلٍ فَكَتَمَنَا مِخْيَطًا فَمَا فَوْقَهُ كَانَ غُلُولاً يَأْتِى بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ»
Siapa dari kalian kami pekerjakan atas suatu pekerjaan lalu ia menyembunyikan sebatang jarum atau lebih maka itu adalah ghulul yang ia bawa pada hari kiamat (HR Muslim dan Abu Dawud)

«مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقًا، فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُولٌ»
Siapa yang kami pekerjakan atas satu pekerjaan dan kami tetapkan gajinya, maka apa yang dia ambil selain itu adalah ghulul (HR Abu Dawud dan Ibn Khuzaimah

Untuk membuktikannya diantaranya bisa seperti yang dicontohkan oleh Umar bi Khathab ra dan disetujui para sahabat sehingga menjadi ijmak sahabat. Harta pejabat dan pegawai dicatat. Jika ada kelebihan yang tak wajar, yang bersangkutan wajib membuktikan hartanya diperoleh secara legal. Jumlah yang tidak bisa dibuktikan, bisa disita seluruhnya atau sebagian dan dimasukkan ke kas baitul mal.

Sanksi bagi pelaku memberikan efek cegah dan jera. Sebagai bagian dari ta’zir, bentuk dan kadar sanksi atas tindak korupsi diserahkan kepada ijtihad Khalifah atau qadhi, bisa disita seperti yang dilakukan Umar, atau tasyhîr (diekspos), penjara, hingga hukuman mati dengan mempertimbangkan dampak, kerugian bagi negara dan dhararnya bagi masyarakat. Umar bin Abdul Aziz menetapkan sanksi koruptor adalah dijilid dan ditahan dalam waktu sangat lama (Mushannaf Ibn Aby Syaibah, V/528). Zaid bin Tsabit menetapkan sanksinya an-nikâl yakni dikekang (penjara) atau hukuman yang bisa menjadi pelajaran bagi orang lain. Sedangkan Qatadah mengatakan hukumannya adalah dipenjara (Mushannaf Abd ar-Razaq, X/209).

Wahai Kaum Muslimin
Pemberantasan korupsi dalam sistem sekarang akan terus menjadi mimpi. Mimpi itu bisa diwujudkan dengan penerapan syariah secara total dan menyeluruh. Maka Allah bertanya: ”Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? Siapakah yang lebih baik hukumnya dibandingkan dengan Allah bagi orang-orang yang yakin?” (TQS al-Maidah [5]: 50).

Saatnya kita jawab dengan tindakan nyata terlibat aktif dalam perjuangan untuk menerapkan syariah Islam dalam bingkai Khilafah Rasyidah ’ala minhaj an-nubuwwah. Wallâh a’lam bi ash-shawâb. []

Komentar:

Pemerintah harus menolak pembentukan daerah otonom baru ketika belum memenuhi syarat. Desakan DPR untuk memekarkan 19 daerah baru bisa dilihat sebagai ladang perburuan kekuasaan saja (Kompas, 9/10).
  1. Dalam sistem demokrasi yang mahal, kekuasaan penting untuk mendatangkan uang dan selanjutnya uang digunakan untuk mendapatkan kekuasaan. Terjadilah siklus power making money, money making power.
  2. Politik Islam basisnya adalah pemeliharaan urusan umat. Kekuasaan hanya jadi alat memelihara urusan umat. Hanya dengan Islam, kekuasaan dijalankan demi menjamin pemeliharan urusan dan kemaslahatan umat. Saatnya campakkan demokrasi kapitalisme, dan terapkan syariah dalam bingkai Khilafah Rasyidah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini